sumber:https://kmk312dewi.wordpress.com/sejarah/para-sejarawan/
Tokoh perjuangan wanita seperti Dewi Sartika, R.A Kartini, Cut Nyak Dien dsb sangat akrab di telinga kita. Mulai dari SD hingga kuliah pun kita mendengar nama pahlawan nasional yang mengharumkan nama bangsa. Tapi tahukah kamu sosok pejuang wanita sebelum mereka. Yang mungkin namanya terasa asing di telinga terutama bagi saya karena di dalam pelajaran sejarah pun seingat saya tidak pernah di cantumkan nama Raden Ayu Lasminingrat.
Empat tahun sebelum Raden Dewi Sartika lahir, Raden Ayu Lasminingrat sudah fasih menulis buku untuk bacaan anak-anak sekolah. Ketika R.A. Kartini lahir tahun 1879, Raden Ayu Lasminingrat sudah menerjemahkan dan menerbitkan buku-buku yang dijadikan buku bacaan wajib di HIS, Schakelschool, dan lain-lain, hingga akhir masa penjajahan Belanda.
Raden Ayu Lasminingrat lahir tahun 1843, putri seorang Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda yang terkenal pada zamannya, yaitu Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Setelah itu lahir pula dua orang adik perempuan yang seibu se-ayah, yaitu Nyi Raden Ratnaningrum dan Nyi Raden Lenggang Kencana. Dalam sebuah buku kajian tentang perjuangan Raden Ayu Lasminingrat karya Prof. Dr. Hj. Nina Lubis, M.S., diutarakan bahwa Raden Haji Muhamad Musa sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Ia menghendaki putri-putrinya yang berjumlah 17 orang dari beberapa isteri itu, bersekolah di sekolah Belanda.
Oleh karena saat itu belum ada sekolah semacam itu di Garut, maka Raden Haji Muhamad Musa mendirikan sekolah Eropa (bijzondere Europeesche School) dengan menggaji dua orang guru Eropa. Di sekolah ini orang Eropa (Belanda) dapat bersekolah bersama-sama dengan anak-anak pribumi, juga anak laki-laki bercampur dengan anak-anak perempuan.
Alhasil, kemampuan Raden Ayu Lasminingrat dalam berbahasa Belanda sangat fasih, bahkan Karel Frederick Holle, seorang administrator di Perkebunan Teh Waspada, Cikajang, memujinya. Pujian itu dinyatakan dalam surat Holle kepada P.J. Veth, antara lain menyebutkan Bahwa: “Anak perempuan penghulu yang menikah dengan Bupati Garut, menyadur dengan tepat cerita-cerita dongeng karangan Grimm, cerita-cerita dari negeri dongeng (Oleg Goeverneur), dan cerita-cerita lainnya ke dalam bahasa Sunda” (Moriyama, 2005:244).
K.F. Holle memang sangat dekat dengan anak-anak Raden Haji Muhamad Musa,termasuk dengan Lasminingrat, bahkan tak segan-segan, Lasmingrat “nembang” di depan K.F. Holle, yang kadang dipanggil sebagai “Tuan Kawasa” (lubis, 1998). Peranan K.F. Holle dalam merevitalisasi bahasa Sunda sangat besar, terbukti dengan menerbitkan buku-buku dalam bahasa Sunda, memberikan dorongan kepada kaum menak untuk menuliskan karya-karya mereka dan menerbitkannya. Dalam buku tersebut diceritakan, Lasmingrat juga terlibat dalam “proyek” menyusun buku-buku pelajaran Sunda dengan diberi biaya f. 1200 dari Pemerintah Belanda.
Pada tahun 1875, Raden Ayu berhasil menerjemahkan ke dalam bahasa Sunda, karya Christoph von Schmidt, Hendrik van Eichenfels, versi Belanda diterjemahkan dari bahasa Jerman tahun 1883. Judulnya menjadi Tjarita Erman yang ditulis dalam aksara Jawa, dicetak 6.015 eksemplar. Kemudian pada tahun 1911 terbit edisi dua, juga dalam aksara Jawa. Dan tahun 1922, terbit edisi ketiga, ditulis dalam aksara Latin.
Selanjutnya, tahun 1876, Lasminingrat menulis buku Warnasari atawa Rupa-rupa Dongeng, yang diterjemahkan dari karya Marchen von Grimm dan J.A.A Goeverneur, Vertelsels uit het Wonderland voor Kinderen, Klein en Groot (1872), dan beberpa cerita lainnya, ditulis dalam aksara Jawa. Tahun 1903 dan 1907 terbit edisi dua dan tiga. Tahun 1887, menulis Warnasari, Jilid 2 ditulis dalam aksara Latin, selanjutnya dicetak edisi kedua tahun 1909.
Bakat Raden Ayu Lasminingrat dalam mengarang, tak pelak lagi diwarisi dari ayahnya yang juga seorang sastrawan terkemuka, yang menghidupkan kembali bahasa Sunda di kalangan menak Sunda, termasuk warisan bakatnya diturunkan kepada Raden Kartawinata dan Raden Ayu Lenggang Kencana. Dari beberapa karyanya, Raden Ayu Lasmingrat dalam membuat terjemahan dengan cara menyadur sehingga cerita asing itu menjadi “membumi”, antara lain nama-nama para tokoh yang berbau pribumi (misalnya : “Erman”, “Ki Pawitra”) atau memberi warna Islami. Selain itu, dalam karyanya mencoba menanamkan rasionalisme dalam dunia pribumi yang masih beralam tradisional yang diwarnai takhayul. Tidak hanya itu, raden Ayu Lasminingrat juga mengedepankan soal pengetahuan dasar, baik itu tentang ilmu pengetahuan alam yang sangat dasar tentang sumber air (mata air, hujan), tentang cahaya (matahari dan lampu), tumbuh-tumbuhan, termasuk bagaimana mengajarkan tentang ke-Tuhan-an.
Raden Ayu Lasmingrat pun adalah pengarang wanita pertama dalam bahasa Sunda, yang menggunakan kata ganti orang pertama. Ia memakai kata “Koela” (artinya “saya”). Biasanya pada saat itu para pengarang menggunakan kata ganti orang ketiga dalam karangan-karangannya. Ini menunjukkan bahwa Raden Ayu Lasminingrat, meski memiliki hubungan erat dengan orang-orang Belanda, namun ia bisa menunjukkan integritasnya sebagai seorang pribadi intelektual, sekaligus kepeloporannya dalam dunia satra.
Peran Raden Ayu Lasmingrat dibuktikan dengan didirikannya Sakola Kautamaan Istri tahun 1907, dengan mengambil tempat di ruang gamelan Pendopo Garut. Kemudian seiring dengan pergantian nama Kabupaten Limbangan menjadi Kabupaten Garut Tahun 1913. Dua tahun setelah pergantian nama, R.A.A. Wiaratanudatar VIII pensiun, setelah menjadi bupati sejak tahun 1871. Jabatan Bupati Garut kemudian dipangku oleh R.A.A. Suria Kartalegawa, yang masih terhitung keponakannya. Akhirnya Raden Ayu Lasmingrat pindah dari pendopo ke sebuah rumah di Regensweg (sekarang Jalan Siliwangi). Rumah yang besar ini (sekarang menjadi Yogya Department Store). Hingga usia 80 tahun ia masih aktif, meskipun tidak langsung dalam dunia pendidikan.
Pada masa pendudukan Jepang, Sakola Kautamaan Istri itu diganti namanya menjadi Sekolah Rakyat (SR) dan mulai menerima laki-laki. Sejak tahun 1950, SR tersebut berubah menjadi SDN Ranggalawe I dan IV yang dikelola Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Daerah Tingkat II Garut. Tahun 1990-an hingga kini berubah lagi menjadi SDN Regol VII dan X.
No comments:
Post a Comment